Selasa, 09 Oktober 2012

materi XII IPA smanike (biografi gus dur)




http://biografi.rumus.web.id/biografi-kyai-haji-abdurrahman-wahid/
Kyai Haji Abdurrahman Wahid, biasa dipanggil Gus Dur, adalah putra pertama dari enam bersaudara, dilahirkan di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 4 Agustus 1940. Gus Dur adalah keturunan ‘darah biru’. Ayahnya, KH Wahid Hasyim adalah putra KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Hj Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, KH Bisri Syansuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah KH Abdul Wahab Hasbullah. 


Pada 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Tamu-tamu, terdiri para tokoh yang sebelumnya biasa dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi Gus Dur. Ia mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari para kolega ayahnya.
Sejak kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU.
Pada April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi-Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.
Dalam kesehariannya, Gus Dur punya kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Ia juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku serius. Karya-karya yang dibaca tidak hanya cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara.
Ia juga senang bermain bola, catur, dan musik. Kegemaran lain adalah nonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Jogjakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat ini pengembangan ilmu pengetahuannya mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studi di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak H Muh Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.
Musik Klasik Gus Dur
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, KH Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakek, ia diajari mengaji dan membaca Al Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca Al Qur’an.
Pada saat ayahnya pindah Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam dan mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda, Buhl selalu menyajikan dengan musik klasik. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.
Menjelang lulus SD, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-Jakarta. Karenanya wajar jika pada masa kemudian banyak tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa.
Setelah lulus SD, Gus Dur dikirim orang tuanya belajar di Jogjakarta. Pada 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di Pesantren Krapyak. Sekolah ini meski dikelola Gereja Katolik Roma, tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama Gus Dur belajar Bahasa Inggris.
Gus Dur lalu minta pindah ke kota dan tinggal di rumah H Junaidi, pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah salat subuh, mengaji pada KH Ma’sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan malamnya ikut berdiskusi bersama H Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Ketika menjadi siswa SMEP, Gus Dur didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku berbahasa Inggris. Di antara buku-buku yang dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Ia juga membaca beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul ‘The Story of Civilazation’.
Gus Dur juga aktif mendengarkan siaran radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai berbahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis- memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’ . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato, Thales, dan sebagainya.
Setamat SMEP, Gus Dur melanjutkan belajar di Pesantren Tegalrejo Magelang. Pesantren ini diasuh KH Chudhari, kiai yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi. Di bawah bimbingan kiai ini pula, Gus Dur mengadakan ziarah ke makam-makam para wali di Jawa.
Menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur lalu kembali ke Jombang dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, KH Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan.
Pada usia 22 tahun, Gus Dur ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, kemudian ke Mesir melanjutkan studi di Universitas Al Azhar.

Pada 1966 Gus Dur pindah ke Irak. Ia masuk Departement of Religion di Universitas Bagdad sampai 1970. Di luar kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid Al-Baghdadi, pendiri aliran tasawuf yang diikuti jemaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya.
Dari Baghdad, Gus Dur ingin melanjutkan studi ke Eropa. Tetapi karena persyaratan ketat, utamanya dalam bahasa, –misalnya untuk masuk kajian klasik di Kohln harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin di samping bahasa Jerman–, tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah menjadi pelajar keliling dari satu universitas ke universitas lainnya.
Pada akhirnya Gus Dur menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup di rantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker.
Perjalanan Karir Gus Dur
Sepulang dari pengembaraan mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang, memilih menjadi guru. Pada 1971 ia bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun sama Gus Dur mulai menekuni sebagaii kolumnis.
Pada 1974 Gus Dur diminta pamannya, KH Yusuf Hasyim membantu di Pesantren Tebu Ireng dengan menjadi sekretaris. Gus Dur mulai sering mendapat undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin, dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori LP3ES.
Pada 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Pada awal 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat diskusi dan perdebatan serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin ilmu.
Karier yang dianggap ‘menyimpang’ -dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1986, 1987.
Pada 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai KH As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 NU di Situbondo. Jabatan itu kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Jogjakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994).
Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden ke-4 RI. Meskipun sudah menjadi presiden, kenylenehan Gus Dur tak hilang. Gus Dur menjadi Presiden sedangkan Megawati Soekarnoputri menjadi wakil presiden.
Catatan karier Gus Dur yang patut juga dicatat adalah saat menjadi ketua Forum Demokrasi (1991-1999), dengan sejumlah anggota terdiri berbagai kalangan, khususnya nasionalis dan non muslim.
Dari perjalanannya tersebut memberikan gambaran betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Abdurrahman Wahid, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. wikipedia/berbagai sumber


Tidak ada komentar:

Posting Komentar