Kamis, 12 November 2015

model pemerintahan militer pendudukan Jepang d Indonesia

Kebijakan Jepang dalam bidang politik dan pemerintahan
Pendudukan Jepang di Indonesia dibagi dalam tiga wilayah.
a. Pemerintahan Militer Angkatan Darat ke-25 (Tentara Keduapuluhlima), wilayah kekuasaannya meliputi Sumatra dengan pusat pemerintahan di Bukittinggi.
b. Pemerintahan Militer Angkatan Darat ke-16 (Tentara Keenambelas), wilayah kekuasaannya meliputi Jawa dan Madura dengan pusat pemerintahan di Jakarta.
c. Pemerintahan Militer Angkatan Laut II (Armada Selatan Kedua), wilayah kekuasaannya meliputi Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku dengan pusat pemerintahan di Makassar.

Susunan pemerintahan militer Jepang sebagai berikut.
a. Gunshireikan (panglima tentara), kemudian disebut Saiko Shikikan (panglima tertinggi), merupakan pucuk pimpinan.
b. Gunseikan (kepala pemerintahan militer), dirangkap oleh kepala staf tentara.
Inskripsi
Panglima Tentara Keenambelas yang pertama adalah Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, sedangkan kepala stafnya adalah Mayor Jenderal Seizaburo Okasaki. Mereka diberi tugas untuk membentuk pemerintahan militer di Jawa. Oleh karena itu, diangkatlah seorang Gunseikan.
Gunshireikan bertugas menetapkan peraturan yang dikeluarkan oleh Gunseikan. Peraturan itu disebut Osamu Kanrei. Peraturan-peraturan tersebut diumumkan dalam Kan Po(berita pemerintahan), sebuah penerbitan resmi yang dikeluarkan oleh Gunseikanbu. Gunseikanbu adalah staf pemerintahan militer pusat yang terdiri dari lima bu (departeman): Sumabu (departemen urusan umum), Zaimubu (departemen keuangan), Sangyobu
(departemen perusahaan, industri, dan kerajinan), Kotsubu (departemen lalu lintas), dan Shihobu (departemen kehakiman).
Koordinator pemerintahan militer setempat disebut gunseibu. Pusat-pusat koordinator militer tersebut berada di Bandung (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), dan Surabaya (Jawa Timur). Selain itu, dibentuk pula dua daerah istimewa (koci), yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Untuk setiap gunseibu ditempatkan beberapa komandan militer setempat. Mereka bertugas memulihkan ketertiban dan keamanan, menanamkan kekuasaan, dan membentuk pemerintahan setempat. Mereka juga diberi wewenang untuk memecat para pegawai yang berkebangsaan Belanda. Akan tetapi, usaha untuk membentuk pemerintahan
setempat ternyata tidak berjalan lancar. Jepang masih sangat kekurangan tenaga pemerintah. Jepang telah berusaha mengirimkan tenaga yang dibutuhkan, namun tidak sampai ke tujuan karena kapal yang mengangkut tenaga-tenaga pemerintahan tersebut tenggelam setelah terkena serangan torpedo Sekutu. Akhirnya, Jepang terpaksa mengangkat pegawai-pegawai dari bangsa Indonesia asli. Hal ini memberi keuntungan bagi pihak Indonesia karena memperoleh pengalaman dalam bidang pemerintahan.
Konsep dan Aktualita
Dalam rangka mempertahankan kekuasaan dan menghapus pengaruh Belanda pada masyarakat Indonesia, Jepang menetapkan Undang-Undang No. 4. Undang-undang tersebut menetapkan bahwa hanya bendera Jepang, Hinomaru, yang boleh dipasang dan hanya lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo,yang boleh diperdengarkan pada hari-hari besar. Mulai tanggal 1 April 1942, semua lapisan masyarakat harus menggunakan pembagian waktu sesuai dengan yang dipergunakan di Jepang. Perbedaan waktu antara Tokyo dan Jawa pada masa itu adalah 90 menit. Selain itu, mulai tanggal 29 April 1942 ditetapkan bahwa kalender yang dipakai adalah kalender Jepang yang bernama Sumera. Tahun 1942 pada kalender Masehi sama dengan tahun 2602 pada kalender Sumera. Rakyat Indonesia juga diwajibkan untuk ikut merayakan hari raya Tencosetsu, yaitu hari lahirnya Kaisar Hirohito.
Menurut Undang-Undang No. 27 tentang Perubahan Tata Pemerintahan Daerah, seluruh Pulau Jawa dan Madura (kecuali kedua koci, Surakarta dan Yogyakarta) dibagi atas enam wilayah pemerintahan.
a. Syu(karesidenan), dipimpin oleh seorang syuco.
b.Syi(kotapraja), dipimpin oleh seorang syico.
c. Ken(kabupaten), dipimpin oleh seorang kenco.
d. Gun(kawedanan atau distrik), dipimpin oleh seorang gunco.
e. Son(kecamatan), dipimpin oleh seorang sonco.
f. Ku(kelurahan atau desa), dipimpin oleh seorang kuco.
Dalam menjalankan pemerintahan, syucokan dibantu oleh cokan kanbo (Majelis Pemusyawaratan Cokan) yang terdiri dari tiga bu(bagian), yaitu naiseibu (bagian pemerintahan umum), keizaibu (bagian ekonomi), dan keisatsubu (bagian kepolisian).
Pemerintahan militer di Sumatra yang berada di bawah Panglima
Tentara Keduapuluhlima membentuk sepuluh karesidenan (syu) yang terdiri dari bungsyu (subkaresidenan), gun, dan son. Kesepuluh syutersebut adalah Aceh, Sumatra Timur, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Jambi, Palembang, Lampung, dan Bangka Bilitan (Belitung). Jabatan syucokan dipegang oleh orang Jepang. Selain pemerintahan militer (gunsei) angkatan darat, Armada Selatan Kedua juga membentuk suatu pemerintahan yang disebut Minseibu. Pemerintahan ini terdapat di tiga tempat, yaitu Kalimantan, Sulawesi, dan Seram. Daerah bawahannya meliputi syu, ken, bunken(subkabupaten), gun, dan son. Seperti di Pulau Jawa dan Sumatra, tidak lama setelah pendaratan tentara Jepang, orang-orang Indonesia mendapatkan jabatan-jabatan tinggi. Namun, setelah bulan Agustus 1942, jabatan-jabatan yang disediakan untuk orang Indonesia hanya terbatas sampai guncodan sanco, sedangkan jabatan wali kota untuk Makassar, Manado, Banjarmasin, dan Pontianak dipegang oleh orang Jepang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar