Selasa, 31 Januari 2012

ciri-ciri politik luar negeri Indonesia

Ciri-ciri politik luar negeri Indonesia
(1 JP)
Kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan oleh para founding fathers Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 pada sejarahnya mengalami gejolak yang cukup marak dari kalangan internal maupun eksternal. Tantangan yang dihadapi tidak hanya bersifat serangan terbuka namun juga tekanan politik dari dalam negeri. Dimana pada saat itu Indonesia belum mendapat pengakuan sebagai negara yang merdeka dan independen dari kalangan internasional, di samping itu Indonesia juga harus menghadapi kekuatan Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia setelah lepas dari penjajahan Jepang.

Hal tersebut yang kemudian membawa Bung Hatta, salah satu dari para founding fathers negara ini yang juga merupakan mantan wakil presiden Republik Indonesia dalam pidatonya yang berjudul “Mendayung di Antara Dua Karang”, menegaskan perlu adanya sikap rasional dalam menanggapi permasalahan yang muncul pada bangsa Indonesia saat itu. Perjuangan melawan kekuatan Belanda yang kala itu mendapat dukungan dari pihak Barat tidak serta merta harus dilawan melalui peperangan yang menggunakan media fisik tetapi juga perlu adanya perjuangan diplomasi. Tindakan ini yang kemudian ditekankan oleh Bung Hatta melalui slogan politik luar negerinya yaitu politik bebas aktif dimana frase tersebut bukan hanya sebuah retorika tetapi ada makna penting yang tersimpan di baliknya.
Makna pertama ialah politik luar negeri bebas aktif tidak bisa dilepaskan dari nila-nilai pancasila yang tertanam di dalamnya, yang kedua bahwa politik luar negeri bebas aktif harus bertujuan sebagai penyelamat dan penuntun bangsa Indonesia dalam mencapai kepentingan nasionalnya, yang ketiga bahwa dalam pencapaian guna mendapat apa yang menjadi kepentingan nasional bangsa Indonesia diperlukan kebijakan-kebijakan yang bersifat independen, dan yang terakhir bahwa kebijakan politik luar negeri Indonesia harus dibangun secara praktis melalui pencarian solusi yang sesuai dengan “its own national interest” dan melihat pada situasi juga fakta yang ada.
Dari keempat hal tersebut jelas dikemukakan oleh Bung Hatta bahwa ranah politik luar negeri kita bukanlah hanya bersifat ideologis semata tapi juga harus rasional dengan melihat konstelasi politik yang berkembang baik itu di luar maupun dalam negeri. Hal ini kemudian yang dapat menjadilkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tegas dan jelas dalam memaparkan apa yang menjadi kepentingan nasionalnya. Perjuangan diplomasi kala itu menjadi perjuangan yang dianggap lemah jika dibandingkan dengan jiwa revolusioner dan nasionalis yang sedang gencar dikumandangkan oleh Bapak Nasionalis kita “Soekarno”, namun saat ini perjuangan diplomasi menjadi salah satu alat penting bagi setiap negara untuk mencapai apa yang menjadi kepentingan nasionalnya.








Politik Luar Negeri Orde Baru dan orde lama
(2 jp)
Posted on November 3, 2011 | Tinggalkan komentar



Pendahuluan
Orde Baru (Orba) adalah rezim yang berkuasa di Indonesia terlama dan terpanjang kekuasaannya. Dengan masa 32 tahun, rezim orba mempunyai dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang sangat panjang. Kebijakan yang diambil oleh Presiden Soeharto maupun oleh para pembantunya mempunyai karakteristik dan ciri yang khas, yaitu militeristik dan terpusat. Pemerintah yang ter-sentralisasi membuat hampir semua kebijakan di semua lini seragam dan ditujukan untuk mendukung pembangunan ekonomi dan stabilitas yang diagung-agungkan pada masa itu. Hasilnya adalah sebuah pemerintah yang otoriter selama kurang lebih 32 tahun sebelum dijatuhkan oleh people power pada masa reformasi.
Politik luar negeri termasuk bidang dalam pemerintahan orba yang dijadikan sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Hal yang terpenting dan menjadi prioritas dalam politik luar orba adalah pembangunan dan stabilitas. Hal ini menjadi panduan dalam politik luar negeri orba yang menjadi antitesa dari politik luar negeri orde lama. Orde lama atau masa demokrasi terpimpin menjadikan politik luar negerinya sebagai alat untuk condong ke blok timur. Hal ini kemudian diubah oleh orba, salah satunya memutus hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Walaupun pada tahun 1990, Indonesia membuka kembali hubungan tersebut dengan alasan ekonomi.[1]
Menelisik lebih jauh mengenai politik luar negeri yang dibangun pada masa orba merupakan diskusi yang panjang dan tak ada habisnya. Politik luar negeri yang dianggap sebagai “anak kesayangan” Amerika Serikat (AS) seringkali disematkan pada orba. Walaupun hal tersebut harus dikaji lebih mendalam untuk lebih memahami politik luar negeri orba yang tidak sederhana. Dalam kondisi perang dingin yang terjadi antara AS dan Uni Sovyet, posisi Indonesia jelaslah menjadi penting. Efek domino komunisme yang ditakutkan oleh barat telah membuat pentingnya posisi Indonesia di mata barat. Dalam hal ini menarik membahas posisi pemerintah Indonesia di bawah Soeharto dan melihat konsep “bebas-aktif” yang selama ini menjadi dasar dan sifat politik luar negeri Indonesia.
Orde Baru Sebagai Antitesa Orde lama
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, politik luar negeri orba muncul sebagai lawan dari politik luar negeri orde lama yang bersifat lebih revolusioner dan menjadikan nasionalisme sebagai alat kesatuan bangsa. Politik luar negeri yang nasionalistik menjadikan Indoensia terus menaruh kecurigaan pada barat. Sifat yang dianut oleh orde lama adalah bebas aktif, namun pada demokrasi terpimpin yang terjadi adalah koalisi tidak resmi Indonesia dengan negara-negara blok timur seperti RRT dan Uni Sovyet.
Orde lama dimulai ketika Soekarno menyatakan dekrit 1959 yang memberlakukan UUD 1945 dan meninggalkan UUD RIS. Dalam sikap politiknya, Soekarno sangat dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini menjadi nyata, ketika Soekarno menyampaikan pidato manifesto politik (manipol) yang mengidentifikasikan musuh nasional yaitu imperialis barat. Kedekatan kepada blok timur pun semakin nyata setelah Indonesia mendapat bantuan militer dari Uni Sovyet untuk pembebasan Irian Barat. Hubungan Indonesia dengan Barat semakin menjauh setelah Soekarno membentuk New Emerging Forces (Nefos) dan Old Established Forces (Oldefos). Soekarno mengelompokkan negara-negara komunis dan sebagian negara Asia-Afrika di Nefos sebagai lawan dari barat yang dimasukkannya dalam Oldefos. Ditambah lagi dengan aksi konfrontasi ganyang Malaysia, keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB, dan menyelenggarakan konferensi anti imperialis Conefo (Conference of New Emerging Forces). [2]
Namun disaat politik luar negeri Indonesia yang sangat hiper-aktif dan militan, kondisi perekonomian dan politik dalam negeri terjadi sebaliknya. Perekonomian hancur, harga-harga melambung tak terkendali, kemiskinan tidak bisa diatas peemrintah, hiper-inflasi terjadi dimana-mana. Pemerintah orde lama yang pada saat itu sedang menghabiskan anggaran negara untuk membiayai konfrontasi ganyang malaysia dan penyeleseian proyek mercusuar, tidak berkutik dan tidak mampu mengatasi itu semua. Kondisi politik dalam negeri pun tidak berbeda. Konflik politik antara militer dan PKI terlihat semakin meruncing. Puncaknya yang terjadi dengan meletusnaya peristiwa Gerakan 30 September 1965[3]. Peristiwa itu membuat pemerintah Soekarno semakin lemah.
Setelah kejadian G 30 S, pemerintah Soekarno menjadi lemah. Kudeta merangkak yang dilakukan oleh Jenderal Soeharto semakin membuat kekuasaan Soekarno lemah. Puncaknya, MPRS menetepkan Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden pada tahun 1968. Pada saat inilah yang menjadi akhir dari orde lama dan menjadi awal orde baru.
Pemerintah Orde baru memperbaiki politik luar negeri yang revolusioner pada era orde lama, menjadi lebih ramah dan aktif di dunia internasional. Hal yang pertama dilakukan adalah memperbaiki dan me-normalisasi hubungan diplomatik dengan Malaysia. Hal yang juga dilakukan oleh pemerintah orba adalah pembentukan organisasi di tingkat regional Asia Tenggara. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga stabilitas kawasan dan menjadi wadah kerjasama antara negara-negara Asia Tenggara. Indonesia menjadi salah satu pendiri Organisasi Regional Asia Tenggara (ASEAN) dari lima negara yang ikut mendirikan di Bangkok pada 1967.
Dalam hal perekonomian dan hubungan dengan barat pemerintah orba pun memperbaiki hubungannya tersebut. Hal ini berkaitan langsung dengan perekonomian dan pembangunan yang dicanangkan pemerintah orba. Pemerintah orba membutuhkan banyak dana untuk melaksanakan pembangunan. Untuk itu, pemerintah mengadakan pertemuan dengan negara-negara donor untuk membicarakan adanya utang untuk pembangunan. Negara-negara tersebut kemudian membentuk sebuah forum bernama Inter-govermental Group On Indonesia (IGGI). Selain itu, pemerintah pun membuat UU investasi yang mempermudah investasi asing masuk ke dalam negeri.
Namun hal itu pun membuat konsekuensi logis terhadap hasil politik luar negeri yang dibangun oleh orde lama seperti forum-forum Gerakan Non-Blok (GNB) dan konferensi Asia-Afrika. Pasa masa orba, negara-negara GNB menolak Indonesia mengetuai GNB karena dianggap sebagai pro-barat. Selain itu, invasi Indonesia terhadap Timor-Timur pun memicu ketidaksukaan terhadap pemerintah orba.
Interpretasi Atas Doktrin “Bebas Aktif”
Doktrin Bebas-Aktif pertama kali diungkapkan oleh Wakil Presiden Indonesia, Mohammad Hatta. Mohammad Hatta dalam pidatonya “Mendayung Antara Dua Karang”, “aktif” yang dimaksud menunjukkan suatu intensitas Indonesia untuk ikut serta dalam usaha menjaga dan menciptakan perdamaian dunia. Ini berarti Indonesia tidak menunjukkan suatu netralitas, yang diartikan sebagai keadaan tak berpartisipasi. Yang dimaksudkan Bung Hatta adalah Indonesia tidak memihak adidaya dunia namun bukan berarti Indonesia mundur dari arena pertentangan internasional, melainkan Indonesia akan terus berusaha secara aktif untuk melakukan upaya-upaya demi menciptakan perdamaian dunia. [4]
Landasan konstitusi politik bebas-aktif baru dibuat tahun 1999, yaitu UU 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri pasal 3 menyatakan bahwa Politik Luar Negeri menganut prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional. Namun UU ini belum ada di mas orde baru. Sehingga prinsip bebas-aktif yang dianut dan dijadikan landasan hanya sebagai landasan moral, bukan konstitusional.
Menurut A Agus Sriyono dalam tulisannya Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Zaman Yang Berubah, mengatakan bahwa prinsip politik luar negeri yaitu bebas-aktif yang dianut oleh Indonesia hampir dijadikan prinsip dan landasan setiap rezim. Bebas dan aktif menjadi semacam prinsip yang tak terubah-kan dalam politik luar negeri Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya, pengertian bebas kadang ditafsirkan secara elastis dan interpretatif. Berbeda dengan “bebas”, “aktif” relatif lebih diartikan secara tetap setiap rezim. [5] Misalnya ketika masa perang dingin, kata “bebas” mengandung arti tidak memihak blok manapun. Namun ketika perubahan konstelasi dari bipolar menjadi unipolar, maka kata “bebas” adalah bebas untuk menolak maupun menerima isu internasional apapun. Pemerintah orba mengartikan doktrin bebas-aktif sebagai tidak memihaknya kepada dua blok barat ataupun timur. Namun dengan dalih ini pula, pemerintah orba merasa untuk mencegah menyebarnya komunisme di kawasan Asia Tenggara. Hal ini pula yang melandasi berdirinya ASEAN.
Namun dalam hal yang melatarbelakangi politik luar negeri orba ini, penulis berpendapat bahwa landasan dan prinsip bebas-aktif tidak terlalu dominan dalam membentuk pola perilaku dan bentuk politik luar negeri. Dalam melihat hal ini, penulis lebih Teori persepsi dalam politik luar negeri bahwa persepsi para pembuat kebijakan luar negeri berpengaruh pada dan memainkan peran dalam menentukan kebijakan negara yang dilaksanakan pada politik luar negeri terhadap negara lain. Leo Suryadinata mengatakan bahwa formulasi politik luar negeri Indonesia cenderung dibentuk oleh elit daripada oleh “massa” melalui proses demokrasi. Elit yang dimaksud banyak dipengaruhi oleh budaya dan efek historis. Walaupun pembentukan politik luar negeri dibentuk oleh beberapa lembaga, namun pemerintahan orba yang didominasi militer dan sentralistik menjadikan Soeharto sebagai pembentuk dominan politik luar negeri dibanding prinsip bebas-aktif.
Keberhasilan Politik Luar Negeri Orde Baru
Menurut Norman J. Padelford, “national interest of a country is what its govermental leaders and in large degree also what its people consider at anytime to be vital to their national independence way, way of life, territorial security, and economic welfare. “ Dalam hal ini, kepentingan nasional lah yang paling menjadi landasan paling penting dalam pembentukan politik luar negeri. Penting untuk diingat bahwasanya landasan utama orde baru adalah pembangunan dan stabilitas nasional.
Untuk mencapai kepentingan nasional nya, maka pemerintah orba membentuk beberapa kebijakan luar negeri. Merujuk dari penjelasan diatas, bahwa politik luar negeri yang telah dibangun oleh politik luar negeri orba bisa disimpulkan menjadi tiga variabel: Perbaikan Ekonomi, Normalisasi hubungan dengan dunia barat, dan revitalisasi organisasi regional.
Pertama, Perbaikan ekonomi yang menjadi prioritas pemerintah orba dituangka dalam pembangunan lima tahun (Pelita). Pelita direncanakan setiap lima tahun dan ditetapkan sebagai Garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Untuk mendukung terlaksananya pelita, Indonesia membentuk negara-negara pendonor dalam forum Inter-govermental Group On Indonesia (IGGI). Selain itu, pemerintah pun membuat UU investasi yang mempermudah investasi asing masuk ke dalam negeri.
Beberapa faktor yang menjadikan ini berhasil yaitu,
•    Kelompok Bappenas yang terkenal disebut “mafia berkeley” yaitu tim yang sebagian besar lulus dari University of California di Berkeley yang diketuai oleh Prof. Widjojo Nitisastro. Ideologi ekonomi yang terlampau tidak terlalu berbeda, yaitu ekonomi liberal, menjadikan kerjasama antara negara-negara barat menjadi lancar. Hal-hal krusial yang menjadi masalah di zaman orde lama seperti investasi asing, dll. tidak terlalu menjadi masalah.
•    Komitmen Presiden Soeharto untuk memperbaiki perekonomiannya dan meninggalkan isu politik tinggi (High Politics) sebagai landasan pemerintahannya.
Kedua, memperbaiki hubungan dengan negara-negara barat adalah salah satu politik luar negeri penting yang dilaksanakan pemerintah orba. Salah satu yang diperbaiki adalah kerjasama ekonomi dengan membentuk forum seperti Inter-govermental Group On Indonesia (IGGI). Di luar hal itu,  masuknya kembali Indonesia ke dalam keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi awal normalisasi hubungan Indonesia dengan negara-negara barat.
Hal yang menjadi isyarat presiden Soeharto adalah pidato ada KTT Non Blok di Lusaka tahun 1970, yang mengatakan bahwa hendaknya Indonesia harus bisa menjalin kerjasama dengan negara manapun di dunia dalam berbagai bidang, kecuali bila tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara tesebut. Walaupun dalam pernyataannya tersebut, Presiden Soeharto menyatakan belum perlu untuk masuk dalam aliansi atau kelompok militer seperti NATO ataupun Pakta Warsawa. [6]
. Dengan masuknya kembali Indonesia ke dalam PBB, Indonesia semakin aktif dalam percaturan internasional. Faktor yang menyebabkan keberhasilannya adalah,
•    Niat baik dan komitmen Presiden Soeharto dalam menjalin hubungan baik kembali dengan negara-negara barat.
•    Sambutan negara barat, terutama AS yang menganggap peran Indonesia sangat vital di Asia Tenggara terutama dalam menjaga stabilitas kawasan dan menjaga tersebarnya ideologi komunisme ketika perang dingin.
•    Pengaruh dari kebutuhan bantuan ekonomi seperti yang sudah dijelaskan diatas dan juga fokus pemerintah orba yang juga untuk pembangunan.
Walaupun akhirnya bisa masuk dalam keanggotaan PBB kembali, tidak selalu hubungan Indonesia dengan barat, terutama AS lancar. Kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur menjadikan hubungan Indonesia dengan AS sempat renggang.
Ketiga,  Revitalisasi organisasi regional menjadi salah satu agenda penting politik luar negeri orde baru. Hal ini menjadi respon dari politik luar negeri orde lama yaitu konfrontasi dengan Malaysia. Kecurigaan dan prasangka pada tetangga terdekat menjadikan Indonesia tak pernah bisa maju untuk bekerja sama kemudian bersaing secara sehat. Secara geopolitik dan geoekonomi, kawasan Asia Tenggara memiliki nilai yang sangat strategis. Hal tersebut tercermin dari adanya berbagai konflik di kawasan yang melibatkan kepentingan negara-negara besar pasca Perang Dunia II, sehingga Asia Tenggara pernah dijuluki sebagai “Balkan-nya Asia”. Persaingan antar negara adidaya dan kekuatan besar lainnya di kawasan antara lain terlihat dari terjadinya Perang Vietnam. Disamping itu, konflik kepentingan juga pernah terjadi diantara sesama negara-negara Asia Tenggara seperti “konfrontasi” antara Indonesia dan Malaysia, klaim teritorial antara Malaysia dan Filipina mengenai Sabah, serta berpisahnya Singapura dari Federasi Malaysia.[7]
Faktor-faktor keberhasilan nya adalah,
•    Adanya keinginan kelima negara pembentuk ASEAN yaitu me-revitalisasi kerja sama terutama di bidang ekonomi di negara-negara ASEAN
•    Ada keinginan bersama untuk menjaga stabilitas kawasan dari perang dingin.
•    Kelima negara tersebut ingin melaksanakan pembangunan sekaligus menjaga penyebaran ideologi komunisme.
•    Dukungan dari blok barat terutama AS untuk menjaga “efek domino komunisme” terutama dari negara-negara komunis di Asia Tenggara seperti Vietnam.
Selain faktor yang diatas tadi, terdapat sebab lainnya. Terutama faktor eksternal yang mendukung terbentuknya organisasi regional. Filipina misalnya, adalah negara yang sebagian besar Katholik, sehingga merasa terasing di kawasan Asia Tenggara yang sebagian besar Islam dan Hindu. Selain itu, integrasi wilayah dalam suatu organisasi regional memberikan kedaulatan yang lebih kuat untuk negara-negara kecil seperti Singapura dan Brunei Darussalam. Dalam hal ini, sebenarnya alasan pragmatisme ekonomilah yang kuat, namun bukannya integrasi ekonomi, melainkan stabilitas yang mendukung perekonomian tumbuh. Namun dalam efektivitas kinerja organisasi regional untuk memenuhi ekspektasi ideal tersebut, masih kurang berhasil. Misalnya dalam mediasi konflik antar negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar